Aku Menolakmu karena "dia"

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhN9Nk_Ku6Dprtq2a9ItheWgfV6llU8oFsTj4AcCPNrr_-glmjKnDEXNH0I6xqX0DmvVOfbRrQ9wpws-XLWliN5922pGOwDzQHeFTouooHCuzYMJCOH3jPbFD2s1Vy2scSmsQX7o0scuYc/s1600/ilustrasi-ikhwan-akhwat-2.jpg






Aku Menolakmu karena “dia”
@DeeR

            Tumpukan laporan praktikum ini membuatku tak bisa beranjak dari meja belajarku. Belum lagi berbagai tugas kuliah yang lain yang sudah menantiku. Inilah kesibukan mahasiswa di akhir semester. Apalagi seorang mahasiswi jurusan Biologi sepertiku, setiap hari pasti ada saja laporan praktikum. Padahal aku baru saja akan menyelesaikan semester ke empatku sudah sesibuk ini, apalagi kalau sudah semester akhir. Saat perhatianku tertuju pada laporan-laporan ini, tiba-tiba dering teleponku berbunyi. Ternyata ayah menelponku.
            “Halo Assalamualaykum Fatimah, minggu ini pulang kan nak?”, tanya ayah
            “Wa’alaykumussalam, InsyaaAllah iya yah, kemungkinan Fatimah nanti dari sini Jum’at sore”, jawabku
            “Jangan lupa beberapa barang dicicil dibawa pulang, kan sebentar lagi libur panjang dan lebaran nak”
            “iya yah, akan Fatimah usahakan lebaran nanti dirumah bersama ayah, ibu dan dek Aulia”
            “yasudah, penting hati-hati ya nak. Jaga kesehatannya dan dijaga pola makannya”
            “iya yah, InsyaaAllah”
            “yasudah nak, ayah tinggal dulu, Wassalamualaykum”
            “Wa’alaykumussalam”
Setiap minggu ayah selalu menanyakan apakah aku pulang atau tidak. Itulah yang membuatku berusaha untuk pulang setiap minggunya. Namun, di akhir semester ini berbeda. Aku jarang pulang karena memang banyak kegiatan di organisasi kampus dan juga tugas kuliah yang harus aku selesaikan. Akan tetapi, minggu ini aku harus pulang. Rindu sekali dengan keluarga karena sudah sebulan lamanya aku tidak pulang. Rindu masakan ibu yang identik dengan pedasnya, rindu senyuman hangat dari ayah dan rindu tangisan si kecil Aulia.
            Jum’at pagi aku sudah bersiap-siap untuk kuliah sekaligus mempersiapkan barang-barang yang akan ku bawa pulang sore nanti. Motorku pun sudah ku isi bensin penuh. Berbeda saat semester kemarin yang setiap pulang kampung naik bus, semester ini aku bawa motor dengan alasan banyak kegiatan, jadi agar mobilitas ke kampus dan ke tempat lain lebih cepat. Hari ini aku kuliah sampai dengan sebelum sholat jum’at. Jam satu siang nanti, aku harus mengikuti kajian muslimah yang diadakan oleh organisasi kampus yang aku ikuti. Hal itu sudah menjadi rutinitasku setiap hari jum’at. Setelah sholat ashar, aku merebahkan sebentar tubuhku untuk persiapan nanti sorenya pulang kampung. Aku terbangun, kulihat jam dinding kamar kos ku menunjukkan pukul setengah lima sore. Aku langsung bergegas mandi dan bersiap-siap pulang. Perjalanan pulang memakan waktu sekitar satu jam. Sampai di rumah hampir mendekati waktu mahgrib. Ternyata ibu dan ayah sudah bersiap untuk makan malam. Si kecil Aulia sudah terlelap karena kata ibu seharian bermain dengan anak tetangga. Seperti biasa, menu utamanya adalah opor ayam beserta sambal goreng khas ibu. Rasanya pun tiada tanding lah pokoknya. Saat yang selalu kurindukan ketika di kampus adalah bercengkrama dengan keluarga kecilku seperti ini. Selepas sholat isya’ kami langsung menonton acara televisi bersama. Aku selalu bermain dengan Aulia disaat seperti ini. Ketika sudah larut malam, kami pasti tidur bersama di ruang televisi itu. Itulah kenapa ketika banyak tugas di kampus aku mengurungkan niatku untuk pulang agar ketika aku pulang, aku dapat bercengkrama dengan keluarga sepuas hatiku dan tanpa beban.
            Minggu pagi yang cerah. Seperti biasanya, jam lima pagi aku luangkan waktuku untuk jalan-jalan keliling kampung. Udara yang sejuk, hamparan sawah sejauh mata memandang, gemericik air sungai yang menenangkan hati, hal yang tidak pernah aku dapatkan di kota. Inspirasi datang silih berganti di pagi itu. Bahkan, gambaran masa depanku seperti terpampang jelas di pikiranku. Namun, hal yang paling lama melintas di fikiranku adalah flash back dari masa kecil ku sampai sekarang ini. Membuatku tersenyum sendiri ketika mengingatnya. Bermain dengan teman-teman kecilku, berangkat sekolah jalan kaki bersama-sama, kejar-kejaran di sawah, seakan hal tersebut nyata ketika aku melihat hamparan sawah ini.
            Akhirnya, aku harus balik ke kota perantauan untuk meneruskan perjuanganku. Tinggal dua minggu lagi kuliahku di semester empat ini selesai. Aku berpamitan ke ibu dan ayah kalau minggu besok tidak pulang. Selama di dalam bus, pikiranku melayang kemana-mana. Memikirkan tugas yang mungkin akan lebih banyak, ujian akhir yang jauh lebih sulit daripada ujian sebelumnya. Tapi, ada satu hal yang mengusik pikiranku. Tiba-tiba terbayang wajah seseorang yang pasti akan ku temui di kampus nanti. Seseorang yang membuatku gugup ketika aku melihatnya. Ketika aku berbicara padanya, seakan lidahku kelu dan tak ada sepatah katapun keluar, dan parahnya lagi dia sekelas dengan ku. Menurutku dia seorang laki –laki / ikhwan yang luar biasa. Seorang aktivis didalam kampus maupun diluar kampus. Walaupun dia sangat sibuk, manajemen waktunya sangat baik. Dia tidak pernah sekalipun terlambat masuk kuliah bahkan selalu menjadi yang pertama datang ke kelas. Prestasi akademiknya juga luar biasa. IPK cumlaude dan sering mengikuti lomba-lomba yang diadakan di internal kampus maupun diluar kampus. Kemungkinan besar dia akan masuk nominasi mahasiswa berprestasi di Fakultas MIPA. Dan satu hal lagi yang membuatku gugup pada dia karena dia benar-benar ikhwan yang sholeh (subjektif). Ketika jam kuliah bertubrukan dengan waktu sholat, dia selalu ijin keluar untuk sholat. Apalagi dulunya dia pernah mondok selama tiga tahun.  Dia yang selalu mengganggu pikiranku ketika lelah menderaku. Kadang pikiran ini menjadi liar dan berharap suatu saat aku menjadi pendampingnya. Ya, mungkin  virus merah jambu telah menyerangku. Namun, yang perlu kulakukan hanyalah menyimpan rapat-rapat perasaan ini. Biarkan hanya aku dan Dia yang tahu.
            Hari ini, dua minggu sudah waktu “ngampus” ku. Hari ini adalah waktunya pulang kampung dan menikmati liburan disana. Semua sisa pakaian dan barang-barang aku kemasi untuk dibawa pulang. Pada liburan semester kali ini aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, bulan ramadhan jatuh tepat dua hari setelah hari liburan dimulai. Hal itu berarti baik ramadhan maupun lebaran, aku akan berada di kampung. Mungkin ini akan menjadi kenangan ramadhan yang tak kan tergantikan. Terlebih lagi, semua temanku yang merantau ke penjuru Indonesia akan pulang.
            Puasa ramadhan tidak terasa sudah di satu minggu terakhir. Senang dan sedih bercampur menjadi satu. Disatu sisi bahagia karena sebentar lagi sudah lebaran, akan tetapi disisi lain kesedihanku juga tak terelakkan. Pertama, sedih karena bulan ramadhan segera pergi dan kedua aku harus kembali berjuang di semester lima. Jujur, hati ini ingin lebih lama dirumah, namun waktu memaksaku untuk meninggalkannya.
            Malam itu, malam takbiran yang tak akan pernah aku lupakan. Sedang asyiknya aku bertemu teman-teman dimasjid, tiba-tiba handphone ku berdering tanda ada panggilan masuk.
            “Assalamualaykum dek Fatimah, masih kenal dengan suara ini?”
            “Wa’alaykumussalam, ini siapa ya?”
            “Masa’ dek Fatimah lupa, hayo coba inget-inget lagi”
            “Beneran saya lupa, ini siapa tho?
            “Saya mas Fadil dek, kaka tingkat dek Fatimah saat SMA dulu”
            “Ooh mas Fadil, ya ampun. Apa kabar mas?”
“Kabar mas baik-naik saja kok. Lalu gimana kabar dek Fatimah dan keluarga?”
 “Saya baik-baik aja mas. Bapak, ibu dan dek Aulia juga baik-baik saja mas”
“Alhamdulillah kalau gitu, lebaran kali ini keluarga di rumah kan dek”
“iya mas, emang ada apa mas?”, tanyaku penasaran
“Ini mas dan sekeluarga mau main kerumah dek Fatimah, hitung-hitung silaturrahim. Boleh kan dek ?”
“Boleh banget mas, jangan lupa oleh-olehnya lhoo, hehehe”
“Siaap dek. Sudah dulu ya, ini mas mau mempersiapkan buat perjalanan besok, Assalamualaykum”
“Wa’alaykumussalam”
Sesaat kemudian aku pun pulang ke rumah. Ternyata dirumah suasananya sepi sekali. setelah ku cari-cari, ayah dan ibu sedang membicarakan sesuatu di meja makan di dapur. Tiba-tiba ayah memanggilku dan bertanya padaku
            “Fatimah, kamu masih inget dengan nak Fadil yang dulu sering main kesini?
            “Masih yah, baru saja dia menelpon Fatimah, katanya mau main kerumah besok”
              “Kamu tahu nggak maksud dia kerumah besok?”
              “Katanya cuma silaturahim yah”
              “Baru saja ayah menerima telepon dari keluarga nak Fadil, mereka bilang maksud mereka datang kerumah adalah untuk melamarmu nak, tapi ayah belum menjawabnya. Semua tergantung padamu nak”
Aku langsung terdiam dan terpaku. Entah, aku harus berkata apa. Air mataku mengalir dengan deras, aku langsung memeluk ibuku. Dalam pelukannya ibuku berkata
            “Fatimah, semua tergantung padamu. Ibu dan ayah tidak bisa memutuskan apa-apa. Ayah dan ibu inginnya kamu selesai kuliah dulu nak. Tapi, kalau memang kamu ingin menerimanya ayah akan menyetujuinya.”
            “Berikan Fatimah waktu untuk berfikir sampai besok pagi bu”, jawabku dengan terisak-isak.
            “Iya nak, sekarang tidur ya, sudah malam.”
Aku segera ke kamar sambil melihat wajah ayah dan ibu, seakan menggambarkan mereka belum rela melepasku kepada anak orang lain. Di kamar aku terus memikirkan hal itu. Semuanya terlintas difikiranku. Kenangan tentang mas Fadil yang merupakan ikhwan yang sholeh dan sekarang pun sudah bekerja di suatu perusahaan. Teringat juga tentang nasehat ibu tadi, bahkan wajah teman sekelasku tadi juga sempat terlintas. Namun, bagaimanapun juga aku harus memutuskan. Menolak lamaran laki-laki sholeh memang sesuatu yang dibenci oleh Allah , akan tetapi membuat ayah dan ibu bersedih adalah hal yang tidak ingin ku lakukan dan Allah pun juga akan marah padaku.
            Esok paginya setelah melaksanakan sholat idul fitri, aku berkata pada ayah kalau aku sudah memutuskan menolak lamaran mas Fadil. Ayah pun segera menghubungi keluarga mas Fadil dan bilang kalau keluarga kami belum bisa menerima lamaran dari mas Fadil karena aku belum siap secara mental dan fisik. Ditambah lagi aku perlu menyelesaikan studi S1. Akhirnya, keluarga mas Fadil menerima dengan lapang dada dan menghormati keputusan tersebut. Aku pun segera telepon mas Fadil.
            “Assalamualaykum mas Fadil”
            “Wa’alaykumussalam dek”
            “Bismillah, dengan ini Fatimah memutuskan belum bisa menerima lamaran mas Fadil karena Fatimah belum siap mas. Semoga mas Fadil bisa menerima keputusan Fatimah dengan lapang dada. Kalau memang kita sudah ditakdirkan bersama pasti Allah akan mempertemukan kita, tapi bukan untuk sekarang mas.”
            “Iya dek, mas juga sudah mendengarnya dari ayah mas. Mas terima kok keputusan adek. Maaf ya kalau mas sudah membuat beban pikiran pada adek dan maaf juga hari ini mas tidak jadi main ke rumah adek”
Belum sempat aku memjawabnya, mas Fadil sudah menutup teleponnya. Kurasa kekecewaan yang luar biasa sedang dialami mas Fadil. Aku pun takut untuk SMS atau telepon lagi mas Fadil sebelum mas Fadil telepon terlebih dahulu. Akhirnya, lebaran kali ini aku habiskan untuk keluarga kecilku ini.
            Hari ini, hari dimana aku masuk perdana kuliah semester lima. Banyak cerita pada liburan semester kemarin yang terkenang dihatiku. Semester ini aku bertekad untuk fokus kuliah. Serius untuk menghadapi perkuliahan dan semoga bisa lulus “Khusnul Khotimah” dan tepat waktu. Semua ini untuk Ayah dan Ibu.  



 # Terinspirasi dari seseorang

  

0 Comment "Aku Menolakmu karena "dia""