Aku Menolakmu karena “dia”
@DeeR
Tumpukan laporan praktikum ini membuatku tak bisa
beranjak dari meja belajarku. Belum lagi berbagai tugas kuliah yang lain yang
sudah menantiku. Inilah kesibukan mahasiswa di akhir semester. Apalagi seorang
mahasiswi jurusan Biologi sepertiku, setiap hari pasti ada saja laporan
praktikum. Padahal aku baru saja akan menyelesaikan semester ke empatku sudah
sesibuk ini, apalagi kalau sudah semester akhir. Saat perhatianku tertuju pada
laporan-laporan ini, tiba-tiba dering teleponku berbunyi. Ternyata ayah menelponku.
“Halo Assalamualaykum Fatimah, minggu ini pulang kan
nak?”, tanya ayah
“Wa’alaykumussalam, InsyaaAllah iya yah, kemungkinan
Fatimah nanti dari sini Jum’at sore”, jawabku
“Jangan lupa beberapa barang dicicil dibawa pulang, kan
sebentar lagi libur panjang dan lebaran nak”
“iya yah, akan Fatimah usahakan lebaran nanti dirumah
bersama ayah, ibu dan dek Aulia”
“yasudah, penting hati-hati ya nak. Jaga kesehatannya dan
dijaga pola makannya”
“iya yah, InsyaaAllah”
“yasudah nak, ayah tinggal dulu, Wassalamualaykum”
“Wa’alaykumussalam”
Setiap minggu ayah
selalu menanyakan apakah aku pulang atau tidak. Itulah yang membuatku berusaha
untuk pulang setiap minggunya. Namun, di akhir semester ini berbeda. Aku jarang
pulang karena memang banyak kegiatan di organisasi kampus dan juga tugas kuliah
yang harus aku selesaikan. Akan tetapi, minggu ini aku harus pulang. Rindu
sekali dengan keluarga karena sudah sebulan lamanya aku tidak pulang. Rindu
masakan ibu yang identik dengan pedasnya, rindu senyuman hangat dari ayah dan
rindu tangisan si kecil Aulia.
Jum’at pagi aku sudah bersiap-siap untuk kuliah sekaligus
mempersiapkan barang-barang yang akan ku bawa pulang sore nanti. Motorku pun
sudah ku isi bensin penuh. Berbeda saat semester kemarin yang setiap pulang kampung
naik bus, semester ini aku bawa motor dengan alasan banyak kegiatan, jadi agar
mobilitas ke kampus dan ke tempat lain lebih cepat. Hari ini aku kuliah sampai
dengan sebelum sholat jum’at. Jam satu siang nanti, aku harus mengikuti kajian
muslimah yang diadakan oleh organisasi kampus yang aku ikuti. Hal itu sudah
menjadi rutinitasku setiap hari jum’at. Setelah sholat ashar, aku merebahkan
sebentar tubuhku untuk persiapan nanti sorenya pulang kampung. Aku terbangun,
kulihat jam dinding kamar kos ku menunjukkan pukul setengah lima sore. Aku
langsung bergegas mandi dan bersiap-siap pulang. Perjalanan pulang memakan
waktu sekitar satu jam. Sampai di rumah hampir mendekati waktu mahgrib.
Ternyata ibu dan ayah sudah bersiap untuk makan malam. Si kecil Aulia sudah
terlelap karena kata ibu seharian bermain dengan anak tetangga. Seperti biasa,
menu utamanya adalah opor ayam beserta sambal goreng khas ibu. Rasanya pun
tiada tanding lah pokoknya. Saat yang selalu kurindukan ketika di kampus adalah
bercengkrama dengan keluarga kecilku seperti ini. Selepas sholat isya’ kami
langsung menonton acara televisi bersama. Aku selalu bermain dengan Aulia
disaat seperti ini. Ketika sudah larut malam, kami pasti tidur bersama di ruang
televisi itu. Itulah kenapa ketika banyak tugas di kampus aku mengurungkan
niatku untuk pulang agar ketika aku pulang, aku dapat bercengkrama dengan
keluarga sepuas hatiku dan tanpa beban.
Minggu pagi yang cerah. Seperti biasanya, jam lima pagi
aku luangkan waktuku untuk jalan-jalan keliling kampung. Udara yang sejuk,
hamparan sawah sejauh mata memandang, gemericik air sungai yang menenangkan
hati, hal yang tidak pernah aku dapatkan di kota. Inspirasi datang silih
berganti di pagi itu. Bahkan, gambaran masa depanku seperti terpampang jelas di
pikiranku. Namun, hal yang paling lama melintas di fikiranku adalah flash back dari masa kecil ku sampai
sekarang ini. Membuatku tersenyum sendiri ketika mengingatnya. Bermain dengan
teman-teman kecilku, berangkat sekolah jalan kaki bersama-sama, kejar-kejaran
di sawah, seakan hal tersebut nyata ketika aku melihat hamparan sawah ini.
Akhirnya, aku harus balik ke kota perantauan untuk
meneruskan perjuanganku. Tinggal dua minggu lagi kuliahku di semester empat ini
selesai. Aku berpamitan ke ibu dan ayah kalau minggu besok tidak pulang. Selama
di dalam bus, pikiranku melayang kemana-mana. Memikirkan tugas yang mungkin
akan lebih banyak, ujian akhir yang jauh lebih sulit daripada ujian sebelumnya.
Tapi, ada satu hal yang mengusik pikiranku. Tiba-tiba terbayang wajah seseorang
yang pasti akan ku temui di kampus nanti. Seseorang yang membuatku gugup ketika
aku melihatnya. Ketika aku berbicara padanya, seakan lidahku kelu dan tak ada
sepatah katapun keluar, dan parahnya lagi dia sekelas dengan ku. Menurutku dia
seorang laki –laki / ikhwan yang luar biasa. Seorang aktivis didalam kampus
maupun diluar kampus. Walaupun dia sangat sibuk, manajemen waktunya sangat baik.
Dia tidak pernah sekalipun terlambat masuk kuliah bahkan selalu menjadi yang
pertama datang ke kelas. Prestasi akademiknya juga luar biasa. IPK cumlaude dan sering mengikuti
lomba-lomba yang diadakan di internal kampus maupun diluar kampus. Kemungkinan besar
dia akan masuk nominasi mahasiswa berprestasi di Fakultas MIPA. Dan satu hal
lagi yang membuatku gugup pada dia karena dia benar-benar ikhwan yang sholeh
(subjektif). Ketika jam kuliah bertubrukan dengan waktu sholat, dia selalu ijin
keluar untuk sholat. Apalagi dulunya dia pernah mondok selama tiga tahun. Dia yang selalu mengganggu pikiranku ketika
lelah menderaku. Kadang pikiran ini menjadi liar dan berharap suatu saat aku
menjadi pendampingnya. Ya, mungkin virus
merah jambu telah menyerangku. Namun, yang perlu kulakukan hanyalah menyimpan
rapat-rapat perasaan ini. Biarkan hanya aku dan Dia yang tahu.
Hari ini, dua minggu sudah waktu “ngampus” ku. Hari ini
adalah waktunya pulang kampung dan menikmati liburan disana. Semua sisa pakaian
dan barang-barang aku kemasi untuk dibawa pulang. Pada liburan semester kali
ini aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, bulan ramadhan jatuh tepat dua
hari setelah hari liburan dimulai. Hal itu berarti baik ramadhan maupun
lebaran, aku akan berada di kampung. Mungkin ini akan menjadi kenangan ramadhan
yang tak kan tergantikan. Terlebih lagi, semua temanku yang merantau ke penjuru
Indonesia akan pulang.
Puasa ramadhan tidak terasa sudah di satu minggu
terakhir. Senang dan sedih bercampur menjadi satu. Disatu sisi bahagia karena
sebentar lagi sudah lebaran, akan tetapi disisi lain kesedihanku juga tak
terelakkan. Pertama, sedih karena bulan ramadhan segera pergi dan kedua aku
harus kembali berjuang di semester lima. Jujur, hati ini ingin lebih lama
dirumah, namun waktu memaksaku untuk meninggalkannya.
Malam itu, malam takbiran yang tak akan pernah aku
lupakan. Sedang asyiknya aku bertemu teman-teman dimasjid, tiba-tiba handphone ku berdering tanda ada
panggilan masuk.
“Assalamualaykum dek Fatimah, masih kenal dengan suara
ini?”
“Wa’alaykumussalam, ini siapa ya?”
“Masa’ dek Fatimah lupa, hayo coba inget-inget lagi”
“Beneran saya lupa, ini siapa tho?
“Saya mas Fadil dek, kaka tingkat dek Fatimah saat SMA
dulu”
“Ooh mas Fadil, ya ampun. Apa kabar mas?”
“Kabar
mas baik-naik saja kok. Lalu gimana kabar dek Fatimah dan keluarga?”
“Saya baik-baik aja mas. Bapak, ibu dan dek
Aulia juga baik-baik saja mas”
“Alhamdulillah
kalau gitu, lebaran kali ini keluarga di rumah kan dek”
“iya
mas, emang ada apa mas?”, tanyaku penasaran
“Ini
mas dan sekeluarga mau main kerumah dek Fatimah, hitung-hitung silaturrahim. Boleh
kan dek ?”
“Boleh
banget mas, jangan lupa oleh-olehnya lhoo, hehehe”
“Siaap
dek. Sudah dulu ya, ini mas mau mempersiapkan buat perjalanan besok,
Assalamualaykum”
“Wa’alaykumussalam”
Sesaat kemudian aku pun
pulang ke rumah. Ternyata dirumah suasananya sepi sekali. setelah ku cari-cari,
ayah dan ibu sedang membicarakan sesuatu di meja makan di dapur. Tiba-tiba ayah
memanggilku dan bertanya padaku
“Fatimah, kamu masih inget dengan nak Fadil yang dulu
sering main kesini?
“Masih yah, baru saja dia menelpon Fatimah, katanya mau
main kerumah besok”
“Kamu tahu nggak maksud dia kerumah besok?”
“Katanya cuma silaturahim
yah”
“Baru saja ayah
menerima telepon dari keluarga nak Fadil, mereka bilang maksud mereka datang
kerumah adalah untuk melamarmu nak, tapi ayah belum menjawabnya. Semua tergantung
padamu nak”
Aku langsung terdiam
dan terpaku. Entah, aku harus berkata apa. Air mataku mengalir dengan deras, aku
langsung memeluk ibuku. Dalam pelukannya ibuku berkata
“Fatimah, semua tergantung padamu. Ibu dan ayah tidak
bisa memutuskan apa-apa. Ayah dan ibu inginnya kamu selesai kuliah dulu nak. Tapi,
kalau memang kamu ingin menerimanya ayah akan menyetujuinya.”
“Berikan Fatimah waktu untuk berfikir sampai besok pagi
bu”, jawabku dengan terisak-isak.
“Iya nak, sekarang tidur ya, sudah malam.”
Aku segera ke kamar sambil
melihat wajah ayah dan ibu, seakan menggambarkan mereka belum rela melepasku
kepada anak orang lain. Di kamar aku terus memikirkan hal itu. Semuanya
terlintas difikiranku. Kenangan tentang mas Fadil yang merupakan ikhwan yang
sholeh dan sekarang pun sudah bekerja di suatu perusahaan. Teringat juga
tentang nasehat ibu tadi, bahkan wajah teman sekelasku tadi juga sempat
terlintas. Namun, bagaimanapun juga aku harus memutuskan. Menolak lamaran
laki-laki sholeh memang sesuatu yang dibenci oleh Allah , akan tetapi membuat
ayah dan ibu bersedih adalah hal yang tidak ingin ku lakukan dan Allah pun juga
akan marah padaku.
Esok paginya setelah melaksanakan sholat idul fitri, aku
berkata pada ayah kalau aku sudah memutuskan menolak lamaran mas Fadil. Ayah pun
segera menghubungi keluarga mas Fadil dan bilang kalau keluarga kami belum bisa
menerima lamaran dari mas Fadil karena aku belum siap secara mental dan fisik. Ditambah
lagi aku perlu menyelesaikan studi S1. Akhirnya, keluarga mas Fadil menerima
dengan lapang dada dan menghormati keputusan tersebut. Aku pun segera telepon
mas Fadil.
“Assalamualaykum mas Fadil”
“Wa’alaykumussalam dek”
“Bismillah, dengan ini Fatimah memutuskan belum bisa
menerima lamaran mas Fadil karena Fatimah belum siap mas. Semoga mas Fadil bisa
menerima keputusan Fatimah dengan lapang dada. Kalau memang kita sudah
ditakdirkan bersama pasti Allah akan mempertemukan kita, tapi bukan untuk
sekarang mas.”
“Iya dek, mas juga sudah mendengarnya dari ayah mas. Mas terima
kok keputusan adek. Maaf ya kalau mas sudah membuat beban pikiran pada adek dan
maaf juga hari ini mas tidak jadi main ke rumah adek”
Belum sempat aku
memjawabnya, mas Fadil sudah menutup teleponnya. Kurasa kekecewaan yang luar
biasa sedang dialami mas Fadil. Aku pun takut untuk SMS atau telepon lagi mas
Fadil sebelum mas Fadil telepon terlebih dahulu. Akhirnya, lebaran kali ini aku
habiskan untuk keluarga kecilku ini.
Hari ini, hari dimana aku masuk perdana kuliah semester
lima. Banyak cerita pada liburan semester kemarin yang terkenang dihatiku. Semester
ini aku bertekad untuk fokus kuliah. Serius untuk menghadapi perkuliahan dan
semoga bisa lulus “Khusnul Khotimah” dan tepat waktu. Semua ini untuk Ayah dan
Ibu.
# Terinspirasi dari seseorang
0 Comment "Aku Menolakmu karena "dia""
Post a Comment